Murid Lugu (dimuat di Gado-gado Femina, Juni 2012)
Mengajar di sebuah sekolah menengah pertama yang berada jauh dari ‘peradaban’, pastilah bukan cita-cita suami saya di awal kariernya sebagai guru.
Namun apa hendak dikata, ternyata SK PNS-nya menempatkan sang guru seni musik itu di sebuah SMP nun di atas perbukitan kapur di utara kabupaten kami. Sebuah lokasi yang untuk mencapainya harus mendaki jalan berbatu gunung yang terjal dan menembus kegelapan hutan jati. Yang bila musim hujan, jalan itu berlapis lumpur licin yang sanggup melontarkan para guru dari atas jok motor mereka.
Soal penghuni sekolah alias para murid, sayangnya berbanding lurus dengan kondisi geografis dan ekonomis daerah itu. Terbatasnya akses informasi dan modernisasi, membuat mayoritas murid (pun warga) menjalani kehidupan yang sangat sederhana juga lugu. Alih-alih kenakalan yang lazim ditemui di usia remaja, suami saya justru acapkali menemukan polah yang cenderung ‘ajaib’.
Misal pada suatu saat suami saya mengadakan ulangan harian. Salah satu soalnya berbunyi, “Apakah legenda itu?” (kala itu suami masih mengampu dobel mata pelajaran).
Dengan mantapnya, seorang siswa menuliskan jawaban: “Legenda adalah motornya Pak Tri”. Rupanya si anak merujuk pada motor bebek keluaran awal tahun 2001-an milik suami, yang masih berstatus baru ngreditwaktu itu. Oalah, Nak…
Itu masih tergolong murid hebat lho, karena tulisannya masih bisa terbaca dengan jelas. Percaya tidak, masih ada murid kelas satu SMP yang belum lancar membaca! Tulisannya morat-marit bak cacing kelaparan, bikin pening. Menyedihkan, ya.
Teringat pula ketika untuk pertama kalinya diadakan study tour alias piknik ke luar kota. Wah, betapa semua anak bersemangat dan penuh sukacita. Bagaimana tidak, mereka akan ‘turun gunung’, naik bis selama lebih dari 3 jam menuju Yogyakarta. Dan bisa ditebak, selama perjalanan panjang itu, para guru mendadak menjadi perawat sukarela. Mengurusi nyaris seisi bus yang bergantian menumpahkan isi perutnya karena mabuk perjalanan.
Mengawal siswa di tempat tujuan study tour, justru jauh lebih merepotkan lagi. Anak-anak yang terlalu excitedkerapkali melancong sana-sini tanpa pamit, membuat guru-guru panik. Bertingkah norak dan heran melihat banyak hal yang baru kali itu mereka temui. Meski memendam malu atas ke-ndeso-an muridnya, tohsang guru tetap dengan senang hati menjawab semua keingintahuan muridnya.
Nah, soal bergaya dan belanja, jangan ditanya. Entah ide siapa, tiba-tiba semua siswa kompak berpose dengan kacamata hitam bertengger di hidung, dan telinga disumpal earphone walkman murahan, hasil jajan mereka di penjaja asongan. Tak peduli keren atau tidak, semua nyengir bahagia. Astaga.
Sudah? Belum. Sekarang cerita tentang remaja yang mulai puber. Jatuh cinta. Dan suami saya ikut ketiban cinta monyet dari beberapa muridnya. Oh my God! Saya benar-benar heran, kenapa juga pak gurunya yang dijatuhcintai, sih? Apa suami saya terlalu keren sebagai guru ya? Mbok ya naksirnya sama teman saja, gitu. Naksir guru, apalagi suami saya, pasti bakal gigit jari, dong. Suami saya kan setia dan nggak genit, hehehe.
Eits, bukan saya marah, apalagi cemburu, lho. Saya cuma kasihan mendengar cerita suami tentang anak-anak putri itu. Bukannya rajin belajar, mereka malah sibuk kasak-kusuk, bisik-bisik. Kadang bertengkar sesama penggemar. Pernah juga mengirimkan kado ulang tahun, ada jam meja dan kaos. Berapa duit itu, ya?
Yah, meskipun sekolah ndeso, muridnya ndeso, tapi sang guru tentu tak boleh berpikiran ndeso. Iya, kan? Mau jadi apa muridnya kalau gurunya tidak bisa mengajak pada kemajuan. Maka, betapa senangnya anak-anak itu ketika diajari menyanyi, diperdengarkan alunan gitar dan suara suami yang cukup mendayu, sehingga ketagihan ingin diajar terus.
Suami saya juga sering memotivasi anak-anak untuk berpikir positif, penuh semangat, optimis, dan berani menggantungkan cita-cita setinggi langit.
“Walaupun kalian orang desa, tinggal di desa, jangan pernah malu. Kalian punya kesempatan yang sama dengan teman-teman yang beruntung tinggal di kota sana,” begitu kira-kira yang selalu ditanamkannya para para murid.
Yup, suami saya bahagia mengajar di sana .
Mungkin karena kemampuan empatinya itu, suami saya disayang dan dihormati oleh murid-muridnya. Seperti apa yang diungkapkan seorang murid ketika diminta menuliskan kesan-kesan mereka tentang gurunya ini:
“Pak Tri adalah guru yang kejam dan menyenangkan.”
Ajaib, kan?
Posting Komentar untuk "Murid Lugu (dimuat di Gado-gado Femina, Juni 2012)"