Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Me vs MRI: The Power of Dzikrullah




Akhirnya, MRI Juga

Yap, setelah kembali menjalani fisioterapi untuk tulang lumbal saya, akhirnya dokter merekomendasikan untuk melakukan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Suatu pemeriksaan mutakhir untuk mengetahui kondisi tulang beserta isinya, dengan gelombang magnet. Menurut teman saya yang dokter rehab medis, MRI adalah gold standar untuk mendiagnosis apakah pasien benar terkena HNP atau tidak. Dan andai HNP, perlu dioperasi atau tidak. Begitu.

Sebetulnya, saya lega begitu diizinkan MRI. Jujur, selama ini saya agak stress, hehehe. Kepikiran terus, sebenarnya saya ini kenapa. Kalau sakit, kok ya saya masih sanggup lari-lari dan naik motor. Kalau dibilang sehat, kok setiap pagi saya kaku-nyeri punggung, nggak kuat duduk atau berdiri lama, cepat capek, kesemutan, dan sebagainya. Jadi, semoga dengan MRI segera ketahuan duduk perkaranya.

Takut!

Eh tapi, membaca testimoni orang-orang yang pernah melakukan MRI, saya jadi keder tingkat bidadari, nih! Katanya seram, super duper nggak nyaman, bahkan seorang teman telah bersumpah nggak akan mau lagi disuruh masuk tabung MRI. Haduh, Mak!

Namun, demi ketenangan jiwa yang selama ini selalu sibuk bertanya-tanya *halah* saya menabahkan diri memenuhi jadwal MRI. Whatever it will be, it will be. Toh dulu ketika opname setelah kecelakaan, saya juga pernah masuk tabung CT Scan, dan selamat, tuh. 

Jadi, here I am!

Jumat, 2 Oktober 2014, bertepatan dengan hari Arafah. Ditemani suami tercintah dan si bungsu Haikal, saya berangkat ke RSUP dr. Kariadi. Pukul 12.45 siang, saya sudah pakai kostum rumah sakit. Selama menunggu giliran, asli jantung saya merosot sampai perut, menyebabkan perut saya bereaksi abnormal. Mules-mules nerves gitu. Apalagi, suara mesin MRI itu terdengar nyaring hingga ruang tunggu. 

Saat itu, benak saya penuh bayangan, saya bakal sesak nggak bisa nafas di dalam tabung itu. Bakal parno luar biasa karena tempatnya super sempit. Lha wong di terowongan Sea World yang lega dan menakjubkan itu saja saya nyaris kolaps karena takut (sampai sesak dan saya bertekad nggak akan mau masuk situ lagi walau dibayar sejuta; entah kalau lima).

Wis, pokoknya saya bayangin yang jelek-jelek. Untung saya masih eling. Saya mulai berdizikir. Astagfirullaah, subhanallaah walhamdulillaah wa laa ila ha illaahu allaahu akbar. Dzikir dan dzikir ... saya sadar, hanya Allah yang bisa menolong saya mengatasi keparnoan ini.

Ternyata, MRI Itu ...

Di situlah saya, menghampiri sebuah tabung besi raksasa warna putih, dengan lubang seukuran badan manusia di tengahnya.

Saya berbaring di sliding bed, mengatur posisi senyaman mungkin. Entah kenapa, saya ambil sikap bersedekap seperti sedang shalat. Kedua telinga disumpal dengan sumbat telinga. Perawat dengan ramah menyiapkan sembari menyemangati saya. “Nggak usah takut, rileks. Di dalam, oksigen banyak sekali kok, sejuk, cuma memang berisik. Jangan kaget, dan jangan bergerak selama 20 menit, ya. Kalau betul-betul takut, tekan ini,” katanya sambil memberikan sesuatu seperti pencetan alat tensi.

Dan dengan mengucap bismillaah, sliding bed meluncur masuk ke dalam tabung MRI. 

Ho ho ho, saya mencoba ‘menikmati’ setiap inci pemandangan yang terpampang di atas saya. Jarak hidung saya dengan atap tabung hanya sejengkal. Suasananya nyaman, adem, terang. Tapi, begitu mesin mulai bekerja, masya Allah! Berisik luar bizaza! Segala macam suara bergantian terdengar, sampai telinga saya sakiiit. 

Belum lagi saya harus mempertahankan dua hal selama di dalam sana. Pertama, jangan sampai saya bergerak; pundak dan tangan kanan saya sampai kesemutan. Kedua, jangan sampai saya ketiduran! Serius. Saya tipe orang yang gampang tidur; jadi, walau suara di dalam tabung MRI bisa bikin orang lain sakit kepala, saya malah ngantuk. Nggak lucu kan kalau di layar monitor dokter melihat pasiennya malah ngorok. Hehehe. 

So, saya terus berdzikir dan berdzikir. Laa haula wa laa quwwata illa billaah. Hanya Allah penolong saya.

Dan, taraaa! Akhirnya selesai! Suara-suara bising itu hilang, saya diluncurkan keluar, perawat menepuk kaki saya sambil tersenyum.

Yes! Alhamdulillaah! Saya berhasil keluar tanpa menekan tombol panik! Luar biasa, ya, kekuatan mengingat Allah SWT dalam segala hal. Saya benar-benar telah membuktikan the power of dzikrullah.

I love you, Allah.

MRI: DO’s and DONT’s

-        Carilah info sebanyak mungkin tentang prosedur MRI. Tanya pada dokter atau perawat yang akan menangani. Makin banyak info, makin jelas apa yang akan dihadapi. Makin tahu, harusnya makin siap, kan?

-        Lepaskan semua yang berbahan logam dari tubuh, termasuk kacamata dan bra. Jangan coba-coba ngumpetin hape karena berniat akan selfie di dalam tabung MRI, ya. Semua bahan logam dilarang masuk area MRI, karena cara kerja mesin MRI dengan medan magnet super kuat.

-         Rileks, cari posisi ternyaman untuk berbaring, tapi nggak boleh miring apalagi nungging. 

-        Berpikir positif, MRI untuk kebaikan pasien agar penyebab keluhan dapat segera ditemukan. Berdoa, berdizikir, pokoknya berserah pada Yang Maha Kuasa.

-        Selama di dalam, jangan bergerak apalagi joget, karena gerakan kecil bisa mengakibatkan proses dihentikan dan diulang. Makin serem, kaaan?

-        Atur nafas, anggap saja sedang mendengar konser musik rock atau sedang berada di arena latihan pesawat tempur, hehehe.

-        Jangan malu-malu menekan tombol panik, karena itu hak pasien, hehehe.

Posting Komentar untuk "Me vs MRI: The Power of Dzikrullah"